Sabtu, 21 Agustus 2010

kekerasan terhadap anak

Kekerasan di masyarakat terus bergulir, meski kata damai, aman, santun, dan lainnya juga terus membanjir dari pendidik, tokoh masyarakat, hingga pejabat pemerintah. Dalam praktik kekerasan itu, korban paling banyak adalah anak-anak. Secara fisik dan psikis, mereka tak berdaya saat menghadapi kekerasan yang dilakukan orang dewasa.

Hadi Supeno yang mengutip pernyataan Darwin (2000) mengartikan kekerasan sebagai tindakan yang menyebabkan seseorang menderita atau dalam keadaan tertekan tanpa bisa melakukan perlawanan. Pada masa lalu, kekerasan hanya diartikan tindakan fisik. Namun, kini lazim digunakan ada kekerasan fisik dan ada kekerasan psikis. Yang terakhir lebih sulit mengukurnya karena tidak tampak, tetapi lebih fatal akibatnya karena tidak ada kepastian bagaimana cara penyembuhannya.

Berbagai jenis dan bentuk kekerasan dengan beragam variannya diterima anak-anak, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan, penganiayaan, trafficking, aborsi, paedofilia, dan berbagai eksploitasi anak di bidang pekerjaan, penelantaran, penculikan, pelarian anak, penyanderaan, dan sebagainya.

Kekerasan terhadap anak harus diwaspadai karena Sigmund Freud (Hadi Supeno, 2008) mengatakan, anak akan memperlakukan orang lain di masa dewasa seperti ketika ia diperlakukan orang lain pada masa anak-anak. Jadi, jika kini anak-anak diperlakukan dengan penuh kekerasan, kelak mereka akan menjadi pelaku kekerasan yang mungkin jauh lebih hebat dibandingkan perlakuan kekerasan yang diterima saat anak-anak. Sebelum spiral kekerasan itu melenting beramplitudo mewujud dalam bentuk yang dahsyat dan mengerikan, para orangtua harus lindungi anak-anak dari kekerasan.

Data Komnas Anak menunjukkan, kekerasan pada anak tidak mengenal strata sosial. Di kalangan menengah ke bawah, kekerasan pada anak karena faktor kemiskinan. Di kalangan menengah ke atas, karena ambisi orangtua untuk menjadikan anaknya yang terbaik, di sekolah, di masyarakat, termasuk selebritis cilik agar bisa tampil di televisi.

Faktor penyebab lainnya adalah terinspirasi dari tayangan-tayangan televisi maupun media-media lainnya yang tersebar di lingkungan masyarakat. Yang sangat mengejutkan ternyata 62% tayangan televisi maupun media lainnya telah membangun dan menciptakan perilaku kekerasan (Sutrisno, 2009).



Lingkungan Ramah

Beberapa faktor yang menyebabkan sering terjadinya kekerasan terhadap anak, pertama, ada paradigma bahwa anak adalah individu yang lemah dari segi fisik maupun dalam pemenuhan hak mereka. Anak harus ikut dalam peraturan, anak tidak mempunyai hak melakukan aspirasi yang berkaitan dengan dunia anak.

Kedua, kekerasan yang terjadi seolah menjadi budaya yang efektif untuk mendisiplinkan anak, sehingga hal ini tidak perlu dipersoalkan. Kekerasan dianggap dapat dibenarkan sepanjang atas nama menegakkan kedisiplinan. Kebiasaan-kebiasaan seperti ini yang membuat kasus-kasus tindak kekerasan jarang terungkap ke permukaan, selain itu ketidakberdayaan anak yang selalu dimanfaatkan orang dewasa untuk melampiaskan kemarahannya. Dalam tataran ini, perlunya menciptakan lingkungan keluarga yang ramah terhadap anak.

Mencita-citakan sebuah lingkungan hidup yang ramah bagi anak dapat dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga, masyarakat lokal, negara, dan pada akhirnya masyarakat dunia (Chabib Musthofa, 2009). Pertama, memposisikan anak sebagai pemegang hak (right holder) dalam rumah tangga, sedangkan orangtua sebagai pemegang kewajiban (duty bearer) atas terpenuhinya hak anak. Orangtua layak mendengarkan dan memahami anak, bukan sebaliknya, anak yang dipaksa mendengarkan dan memahami keinginan orangtua.

Kedua, masyarakat memberikan akses agar anak dapat berpartisipasi dalam dimensi sosial-budaya tanpa diskriminasi apa pun. Hal ini dikuatkan dengan pembentukan social norms yang setara. Ketiga, negara sadar akan kewajibannya untuk menghormati (respect), melindungi (protect), memenuhi (fulfill), dan memajukan (promote) anak guna mendapatkan hak-haknya.

Minimal ada 5 (lima) indikasi sebuah kawasan hidup yang berada dalam kategori ramah terhadap anak. Pertama, anak terlibat dalam pengambilan keputusan tentang masa depan diri, keluarga, dan lingkungannya. Kedua, kemudahan mendapatkan layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan layanan lain untuk tumbuh kembang. Ketiga, adanya ruang terbuka untuk anak dapat berkumpul, bermain, dan berkreasi dengan sejawatnya dengan ama serta nyaman. Keempat, adanya aturan yang melindungi anak dari bentuk kekerasan dan eksploitasi. Dan kelima, tidak adanya diskriminasi dalam hal apa pun terkait suku, ras, agama, dan golongan (Chabib Musthofa, 2009).

Minimalkan Kekerasan

Meminimalkan kekerasan pada anak, Sutrisno (2009) merekomendasikan beberapa hal penting. Pertama, menjauhkan budaya kekerasan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, dan menyatakan bahwa kekerasan terhadap anak adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kedua, menjadikan Program Perlindungan Anak di Indonesia sebuah program prioritas bagi pemerintah dalam menjawab komitmen negara sebagai negara peserta yang meratifikasi Konvensi Hak Anak. Mengeluarkan kebijakan negara yang bersifat teknis dalam melindungi anak dari segala bentuk tindak pelanggaran hak anak seperti tindak kekerasan (child abuse), diskriminasi, trafficking, dan perlakuan salah lainnya. Karena pembicaraan dan impunity atas pelanggaran hak-hak anak adalah refleksi rendahnya derajat keberadaan dan lemahnya empati kemanusiaan.

Ketiga, penegakan hukum (law enforcement) oleh aparat berwenang agar menjadi efek jera bagi pelaku tindak kekerasan pada anak. Karena itu, peran berbagai pihak untuk turut memonitor tindak kekeradan pada anak sangat diperlukan demi efektivitas dan efisiensi pemberlakuan serta pelaksanaan hukum yang berlaku tentang perlindungan anak dan peradilan anak. Kerja sama lintas lembaga dan program. Kemitraan yang sejajar dan kondusif merupakan syarat suksesnya sebuah agenda. Permasalahan anak tidak bisa dibebankan pada satu lembaga saja.

Keempat, mendorong pemerintah agar dengan segera menghentikan tayangan-tayangan kekerasan, mistik, pornografi, dan tayangan lainnya yang tidak mendidik bagi proses tumbuh kembang anak, serta pemerintah dan orangtua bertanggung jawab untuk memberikan arahan dan panduan kepada anak, karena mereka masih membutuhkan itu dalam proses evolusi kapasitas menjadi personal yang tidak lagi dependen dan menuju kedewasaannya. Anak bukan entitas tunggal dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keluarga dan lingkungannya.

Seto Mulyadi (2006) menyitir, jika kekerasan terhadap anak tidak dihentikan, cepat atau lambat bangsa ini akan runtuh. Para pemimpin bangsa ini kelak akan terdiri orang-orang yang memiliki masa kanak-kanak penuh nuansa kekerasan. Marilah kondisi meminimalkan kekerasan terhadap anak kita upayakan bersama-sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar