Senin, 23 Agustus 2010

teori konflik

Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. [1].
Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat

Asumsi dasar

Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional]
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar.
Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.[3]
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.



Teori Konflik Menurut Lewis A. Coser

Sejarah Awal

Selama lebih dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada struktur sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Berbeda dengan beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan teori konflik), coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut.

Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisa konflik sosial, mereka melihatnya konflik sebagai penyakit bagi kelompok sosial. Coser memilih untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu. Coser mengembangkan perspektif konflik karya ahli sosiologi Jerman George Simmel.
Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial. Karena ia yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature (sesuatu yang sia- sia. Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalat sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan pendapatnya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bentuk atau konsep- konsep sosiologi di mana isi dunia empiris dapat ditempatkan.
teori knflik Simmel sebagai berikut:
  • Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisa.
  • Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.[4]

Inti Pemikiran

Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. . Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktek- praktek ajaran katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel.
Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam.Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial.  Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur.
Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:
  1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan. [5]
  2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka. [5]
Menurut Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi. [5]
Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. [6]. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. [6] Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.
Coser [7]. Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok. [4] Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. [7]Bila konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. [7] Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. [7] Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. [7] Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan. [7] 
Teori Konflik Menurut Ralf Dahrendorf

Sejarah Awal

Bukan hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan teori sosiologi.segera setelah penampilan karya Coser [5], seorang ahli sosiologi Jerman bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam bahasa inggris yang sebelumnya berbahasa Jerman agar lebih mudah difahami oleh sosiolog Amerika yang tidak faham bahasa Jerman saat kunjungan singkatnya ke Amerika Serikat (1957- 1958). [8] Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisa fenomena sosial. [8] Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama. [8]

Inti Pemikiran

Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. [8] Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan Kontrol sarana- sarana berada dalam satu individu- individu yang sama. [8]
Menurut Dahrendorf tidak selalu pemilik sarana- sarana juga bertugas sebagai pengontrol apalagi pada abad kesembilan belas. Bentuk penolakan tersebut ia tunjukkan dengan memaparkan perubahan yang terjadi di masyarakat industri semenjak abad kesembilan belas. [8] Diantaranya:
Menurut Dahrendorf timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak, dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi modal. Dekomposisi tenaga. [8]
Di abad spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya agar berkembang dengan baik. [8]
  • Timbulnya kelas menengah baru
Pada akhir abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, di mana para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh biasa berada di bawah. [8]
Penerimaan Dahrendorf pada teori konflik Karl Marx adalah ide mengenai pertentangan kelas sebagai satu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. [9] Kemudian dimodifikasi oleh berdasarkan perkembangan yang terjadi akhir- akhir ini. Dahrendorf mengatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur bagi kelahiran kelas. [9]
Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai. [9] Dalam analisanya Dahrendorf menganggap bahwa secara empiris, pertentangan kelompok mungkin paling mudah di analisa bila dilihat sebagai pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. [6] Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya. [6]

Referensi

  1. Bernard Raho,Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007. hlm. 54
  2. Fred. Schwarz, 1960. You Can Trust the Communists. New Jersey: Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs.page. 71
  3. Tom Bottomore, dkk. 1979. Karl Marx: Selected Writings in Sociology and Social Philosphy. Victoria: Penguin Books. page. 34
  4. Lewis Coser (ed), 1965. George Simmel. Eaglewood Cliffts, N.J.: Prentice-Hall. page. 56-65
  5. Lewis Coser , 1956. The Function of Social Conflict. New York: Free Press. page. 151-210
  6. Margaret. M. Poloma, 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm. 113-12
  7. 0Lewis Coser, 1967. Continuities in the Study of Social Conflict. New York: Free Press. page. 32-70
  8. Ralf Dahrendorf, 1959.Class and Class Conflict in Industrial Society, Calif.: Stanford University Press. page. 142-189
  9. Ralf Dahrendorf, 1968.Essays in the Theory of Society, Stanford, Calif.: Stanford University Press. page. 56-89

teori kekerasan


Dari semua teori kekerasan, teori' "kekerasan struktural" dari Johann Galtung, seorang kriminolog dari Norwegia dan seorang polemolog, adalah teori yang bertalian dengan kekerasan yang paling menarik. Dalam pengulasan dan penganalisaan lebih lanjut, saya sampai pada kesimpulan bahwa teori kekerasan struktural pada hakekatnya adalah teori kekerasan "sobural". Dengan "sobural" saya maksudkan suatu akronim dari (nilai-nilai) sosial, (aspek) budaya, dan (faktor) struktural (masyarakat).

Dengan "kekerasan struktural" dimaksudkan kekerasan tidak langsung, yang bukan berasal dari orang tertentu, tetapi yang telah terbentuk dalam suatu sistem sosial tertentu. Jadi bila anda berkuasa atau memiliki harta kekayaan berlimpah, maka akan selalu ada kecenderungan untuk melakukan kekerasan, kecuali kalau ada hambatan yang jelas dan tegas.

Teori "kekerasan struktural" jika diimplementasikan secara empirik realistik, telah diterapkan secara telanjang di zaman Soeharto (Orde Baru) melalui Angkatan Bersenjata dan organisasi politik yang berkuasa berbaju kultur Jawa. Secara singkat, Soeharto bisa dibanding dengan Ken Arok, hanya zaman dan teknologi (bersenjata) yang berbeda. (Baca buku Pramoedya Ananta Toer, Arok Dedes, Hasta Mitra, Jakarta, 2002). 
teori yang lainnya 
Teori-Teori Tentang Kekerasan
Teori Faktor Individual
Beberapa ahli berpendapat bahwa setiap perilaku kelompok,
termasuk perilaku kekerasan, selalu berawal dari perilaku
individu. Faktor penyebab dari perilaku kekerasan adalah
faktor pribadi dan faktor sosial. Faktor pribadi meliputi kelainan
jiwa. Faktor yang bersifat sosial antara lain konflik rumah
tangga, faktor budaya dan faktor media massa.
Teori Faktor Kelompok
Individu cenderung membentuk kelompok dengan
mengedepankan identitas berdasarkan persamaan ras, agama
atau etnik. Identitas kelompok inilah yang cenderung dibawa
ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Benturan
antara identitas kelompok yang berbeda sering menjadi
penyebab kekerasan.
Teori Dinamika Kelompok
Menurut teori ini, kekerasan timbul karena adanya deprivasi
relatif yang terjadi dalam kelompok atau masyarakat. Artinya,
perubahan-perubahan sosial yang terjadi demikian cepat
dalam sebuah masyarakat tidak mampu ditanggap dengan
seimbang oleh sistem sosial & masyarakatnya.






Kekerasan


Dalam KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cidera atau
matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik atau
barang orang lain.
Menurut N.J. Smelser ada 5 tahap dalam kerusuhan massal.
Kelima tahap itu berlangsung secara kronologis dan tidak
dapat terjadi 1 atau 2 tahap saja. Tahap-tahap tersebut
adalah :
1.Situasi sosial yang memungkinkan timbulnya kerusuhan
yang disebabkan oleh struktur sosial tertentu.
2.Tekanan sosial, yaitu suatu kondisi saat sejumlah besar
anggota masyarakat merasa bahwa banyak nilai dan norma yang sudah dilanggar. Tekanan ini tidak cukup menimbulkan kerusuhan atau kekerasan, tetapi juga menjadi pendorong terjadinya kekerasan.
3.Berkembangnya perasaan kebencian yang meluas
terhadap suatu sasaran tertentu. Sasaran kebencian itu berkaitan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa yang memicu kekerasan.
4.Mobilisasi untuk beraksi, yaitu tindakan nyata berupa
pengorganisasi diri untuk bertindak. Tahap ini merupakan tahap akhir dari akumulasi yang memungkinkan terjadinya kekerasan.
5.Kontrol sosial, yaitu tindakan pihak ketiga seperti aparat
keamanan untuk mengendalikan, menghambat, dan
mengakhiri kekerasan





Minggu, 22 Agustus 2010

teori perubahan Masyarakat oelh FERDINAND TONNIES

Pembahasan kali ini berkisar pada teori perubahan masyarakat, sebuah teori yang dicetuskan oleh seorang sosiolog Jerman, Ferdinand Tonnies. sebenarnya dalam pembahasan ini kami belum memahami persis apakah yang dimaksud dengan teori perubahan masyarakat dalam persepsi Tonnies adalah Gemeinschaft dan Geselschaft atau ada teori lain selain kedua teori tersebut, melainkan di beberapa referensi hanya pembahasan inilah yang kami ketahui.
Selanjutnya pembahasan berikut adalah pembahasan yang kami cukupkan pada teori Tonnies tentang Gemeinschaft dan Geselschaft, semoga makalah ini dapat memenuhi dari apa yang dimaksud oleh mata kuliah ini dimana kami mendapatkan bahasan mengenai teori perubahan masyarakat yang digagas oleh Tonnies. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan teman-teman yang lain.
Biografi Ferdinand Tonnies
Ferdinand Tonnies lahir pada tahun 1855 dan wafat pada tahun 1936[1]. Ia merupakan salah seorang sosiolog Jerman yang turut membangun institusi terbesar yang sangat berperan dalam sosiologi Jerman. Dan ia jugalah yang melatarbelakangi berdirinya German Sosiological Association ( 1909, bersama dengan George Simmel, Max Webber, Werner Sombart, dan lainnya )[2]
Ferdinand Tonnies memiliki berbagai karya diantaranya Gemeinschaft und Gesellschaft (yang dipublikasikan pertamakali pada tahun 1887) yang selanjutnya diedit dan di alihbahasakan kedalam bahasa Inggris menjadi Community and Society (1957) oleh Charles P. Loomis, karyanya yang lain yang berupa essai-essai tentang sosiologi terdapat di dalam bukunya Einfuhrung in die Soziologie (An Introduction to Sociology).[3]
Diakhir usianya Tonnies adalah seorang yang aktif menentang gerakan NAZI di Jerman dan seringkali ia diundang menjadi Professor tamu di University of Kiel, setelah hampir masa hidupnya ia gunakan untuk melakukan penelitian, menulis, dan mengedit karya para sosiolog dimasanya.[4]
Gemeinschaft dan Gesellschaft
Seperti dipaparkan sebelumnya, bahwa Tonnies memiliki teori yang penting yang akhirnya berhasil membedakan konsep tradisional dan modern dalam suatu organisasi sosial, yaitu Gemeinschaft (yang diartikan sebagai kelompok atau asosiasi) dan Gesellschaft (yang diartikan sebagai masyarakat atau masyarakat modern-istilah Piotr Sztompka). Setelah sebelumnya Weber menegaskan bahwa ia melihat bahwa perubahan masyarakat terlihat pada kecenderungan menuju rasionalisasi kehidupan sosial dan organisasi sosial di segala bidang (pertimbangan instrumental, penekanan efisiensi, menjauhkan diri dari emosi dan tradisi, impersonalitas, manajemen birokrasi dan sebaliknya). Senada dengan hal itu, Durkheim menegaskan bahwa perkembangan pembagian kerja pun akan didikuti integrasi masyarakat melalui “solidaritas organik” yang menimbulkan ikatan yang saling menguntungkan dan kontribusi anggota masyarakat akan saling melengkapi.[5]
Tonnies memasukkan Gemeinschaft dan Gesellschaft di bukunya (1887) satu diantara beberapa nomor yang dipaparkan, sebagai salah satu teori yang bersifat modern. Menurutnya Gemeinschaft adalah sebagai situasi yang berorientasi nilai nilai, aspiratif, memiliki peran, dan terkadang sebagai kebiasaan asal yang mendominasi kekuatan sosial. Jadi baginya secara tidak langsung Gemeinschaft timbul dari dalam individu dan adanya keinginan untu memiliki hubungan atau relasi yang didasarkan atas kesamaan dalam keinginan dan tindakan. Individu dalam hal ini diartikan sebagai pelekat/perekat dan pendukung dari kekuatan sosial yang terhubung dengan teman dan kerabatnya (keluarganya), yang dengannya mereka membangun hubungan emosional dan interaksi satu individu dengan individu yang lain. Status dianggap berdasarkan atas kelahiran, dan batasan mobilisasi juga kesatuan individu yang diketahui terhadap tempatnya di masyarakat.
Sedangkan Gesellschaft, sebagai sesuatu yang kontras, menandakan terhadap perubahan yang berkembang, berperilaku rasional dalam suatu individu dalam kesehariannya, hubungan individu yang bersifat superficial (lemah, rendah, dangkal), tidak menyangkut orang tertentu, dan seringkali antar individu tak mengenal, seperti tergambar dalam berkurangnya peran dan bagian dalam tataran nilai, latar belakang, norma, dan sikap, bahkan peran pekerja tidak terakomodasi dengan baik seiring dengan bertambahnya arus urbanisasi dan migrasi juga mobilisasi.[6]
Tonnies memaparkan Gemeinschaft adalah wessenwill[7] yaitu bentuk-bentuk kehendak, baik dalam arti positif maupun negatif, yang berakar pada manusia dan diperkuat oleh agama dan kepercayaan, yang berlaku didalam bagian tubuh dan perilaku atau kekuatan naluriah[8]. Jadi, wessenwill itu sudah merupakan kodrat manusia yang timbul dari keseluruhan kehidupan alami. Sedangkan Gesselschaft adalah Kurwille yaitu merupakan bentuk-bentuk kehendak yang mendasarkan pada akal manusia yang ditujukan pada tujuan-tujuan tertentu dan sifatnya rasional dengan menggunakan alat-alat dari unsur-unsur kehidupan lainnya.[9] Atau dapat pula berupa pertimbangan dan pertolongan.[10] Tonnies membedakan Gemeinschaft menjadi 3 jenis, yaitu :
  1. Gemeinschaft by blood, yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ikatan darah atau keturunan. Didalam pertumbuhannya masyarakat yang semacam ini makin lama makin menipis, contoh : Kekerabatan, masyarakat-masyarakat daerah yang terdapat di DI. Yogyakarta, Solo, dan sebagainya.
  2. Gemeinschaft of placo (locality), yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada tempat tinggal yang saling berdekatan sehingga dimungkinkan untuk dapatnya saling menolong, contoh : RT dan RW.
  3. Gemeinschaft of mind, yaitu Gemeinschaft yang mendasarkan diri pada ideology atau pikiran yang sama.
Dimana, dari ketiga bentuk ini dapat ditemui pada masyarakat, baik di kota maupun di desa.[11]
Ferdinand Tonnies dan Evolusi tanpa Kemajuan
Apabila Durkheim menjelaskan tipologi perubahan masyarakat dengan membuat perbandingan “solidaritas mekanik” dan “solidaritas organik”, Spencer membuat tipe “masyarakat militer” vs “masyarakat industri”, Weber yang membagi “masyarakat agraris tradisional” dengan “masyarakat kapitalis”. Maka dibawah ini adalah tabel dikotomi serupa yang disajikan oleh Tonnies dalam Gemeinschaft und Gesellschaft (yang dipublikasikan pertamakali pada tahun 1887). Gemeinschaft (komunitas) ditandai oleh ikatan sosial bersifat pribadi, akrab, dan tatap muka (primer). Ciri-ciri ikatan sosial ini seperti yang dikemukakan sebelumnya ialah berubah menjadi impersonal, termediasi, dan sekunder dalam masyarakat modern (Gesellschaft). Keunikan pendekatan Tonnies terlihat dari sikap kritisnya terhadap masyarakat modern (Gesellschaft), terutama nostalgianya mengenai kehidupan tipe komunitas/kelompok/asosiasi (Gemeinschaft) yang lenyap. Tonnies adalah contoh langka penganut evolusionisme yang tak menganggap evolusi identik dengan kemajuan. Menurutnya, evolusi terjadi secara berlawanan dengan kebutuhan manusia, lebih menuju kearah memperburuk ketimbang meningkatkan kondisi kehidupan manusia. [12]. Dan dibawah ini adalah tabel pemaparan Tonnies tentang perbedaan antar Gemeinschaft dengan Gesellschaft sebagai suatu perubahan yang justru bergerak kearah memperburuk, menurut dirinya.[13]
Ciri
Gemeinschaft (komunitas)
Gesellschaft
(masyarakat modern)
Tentang hal ini pula secara tidak langsung bagi Tonies faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan masyarakat dimana prinsip evolusi yang ia miliki hampir sama dan senada dengan prinsip evolusi ahli lain seperti Max Weber begitu juga dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Diantara penyebab terjadi perubahan itu adalah adanya kecenderungan berfikir secara rasional, perubahan orientasi hidup, proses pandangan terhadap suatu aturan dan sistem organisasi.
Sebagai contoh kasus ialah adanya suatu masyarakat bernama kampung Ambon di daerah Bekasi, dimana asalnya sebuah komunitas tersebut merupakan hanya kaum urban yang datang dari Ambon dan sekitarnya untuk mencari penghasilan dengan bekerja seadanya, namun seiring dengan perubahan masa, waktu dan zaman urbanisasi yang datang dari daerah tersebut semakin banyak dan mengikuti pendahulunya yang lain untuk menempati lokasi yang sama. Sehingga saat ini terbentuklan suatu masyarakat Ambon yang datang ke Jakarta setelah sebelumnya hanya sebuah komunitas belaka.
Penutup
Setelah tadi kita mengetahui dari pemaparan diatas apa yang dijelaskan oleh Ferdinand Tonnies tentang evolusionisme, antar Gemeinscahft dengan Geselschaft. Maka dapat diambil suatu kesimpulan sementara bahwa apa yang dimaksudkan oleh Tonnies tentang teorinya sendiri tak berbeda jauh dengan para sosiolog seangakatnnya semisal Durkheim, Spencer, dan Weber tentang suatu bentuk teori evolusi klasik. Dimana ia menjelaskan dengan seksama pula bahwa suatu kehidupan lebih berorieentasi kepada perubahan terlihat pada kecenderungan menuju rasionalisasi kehidupan sosial dan organisasi sosial di segala bidang.[14]
daftar pustaka :
Bernard, Jessie, The Sociology of Community, Scott, Foresman and Company, Glenview, Illinois: 1973
Dictionary of Social Science on American Corner Library. State Islamic University Jakarta
Narwoko, J.Dwi dan Bagong Suyanto (ed), Sosiologi ; Teks, Pengantar dan Terapan, Prenada Media, Jakarta: 2004
Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial (alih bahasa oleh Alimandan), Prenada Media, Jakarta: 2005

teori fungsional struktural

Teori Fungsional-struktural adalah sesuatu yang urgen dan sangat bermanfaat dalam suatu kajian tentang analisa masalah social. Hal ini disebabkan karena studi struktur dan fungsi masyarakat merupakan sebuah masalah sosiologis yang telah menembus karya-karya para pelopor ilmu sosiologi dan para ahli teori kontemporer.[1]
Oleh karena itu karena pentingnya pembahasan ini maka kami dari kelompok 3 mengangkat tema ini. Mudah-mudahan dapat bermanfaat.
Tinjauan singkat tentang Teori Fungsional Struktural
Pokok-pokok para ahli yang telah banyak merumuskan dan mendiskusikan hal ini telah menuangkan berbagai ide dan gagasan dalam mencari paradigma tentang teori ini, sebut saja George Ritzer ( 1980 ), Margaret M.Poloma ( 1987 ), dan Turner ( 1986 ). Drs. Soetomo ( 1995 ) mengatakan apabila ditelusuri dari paradigma yang digunakan, maka teori ini dikembangkan dari paradigma fakta social. Tampilnya paradigma ini merupakan usaha sosiologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang baru lahir agar mempunyai kedudukkan sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri.[2]
Secara garis besar fakta social yang menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri atas dua tipe yaitu struktur social dan pranata social. Menurut teori fungsional structural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu system social yang berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ini ( fungsional – structural ) menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam system sosial, fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Dalam proses lebih lanjut, teori inipun kemudian berkembang sesuai perkembangan pemikiran dari para penganutnya.[3]
Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis menganggap bahwa adanya teori fungsionalisme-struktural merupakan suatu yang ‘berbeda’, hal ini disebabkan karena Durkheim melihat masyarakat modern sebagai keseluruhan organisasi yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut menurut Durkheim memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat “ patologis “[4]. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai ekuilibrium, atau sebagai suatu system yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimabangan atau perubahan social.[5]
Robert K. Merton, sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas tentang teori-teori fungsionalisme, ( ia ) adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini ( fungsional-struktural ) telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis.
Merton telah mengutip tiga postulat yang ia kutip dari analisa fungsional dan disempurnakannya, diantaranya ialah :
1. postulat pertama, adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan dimana seluruh bagian dari system sosial bekerjasama dalam suatu tingkatan keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur. Atas postulat ini Merton memberikan koreksi bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari satu masyarakat adalah bertentangan dengan fakta. Hal ini disebabkan karena dalam kenyataannya dapat terjadi sesuatu yang fungsional bagi satu kelompok, tetapi dapat pula bersifat disfungsional bagi kelompok yang lain.
2. postulat kedua, yaitu fungionalisme universal yang menganggap bahwa seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif. Terhadap postulat ini dikatakan bahwa sebetulnya disamping fungsi positif dari sistem sosial terdapat juga dwifungsi. Beberapa perilaku sosial dapat dikategorikan kedalam bentuk atau sifat disfungsi ini. Dengan demikian dalam analisis keduanya harus dipertimbangkan.
3. postulat ketiga, yaitu indispensability yang menyatakan bahwa dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, objek materiil dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan system sebagai keseluruhan. Menurut Merton, postulat yang kertiga ini masih kabur ( dalam artian tak memiliki kejelasan, pen ), belum jelas apakah suatu fungsi merupakan keharusan.
Pengaruh Teori ini dalam Kehidupan Sosial
Talcott Parsons dalam menguraikan teori ini menjadi sub-sistem yang berkaitan menjelaskan bahwa diantara hubungan fungsional-struktural cenderung memiliki empat tekanan yang berbeda dan terorganisir secara simbolis :
  1. pencarian pemuasan psikis
  2. kepentingan dalam menguraikan pengrtian-pengertian simbolis
  3. kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan organis-fisis, dan
  4. usaha untuk berhubungan dengan anggota-anggota makhluk manusia lainnya.
Sebaliknya masing-masing sub-sistem itu, harus memiliki empat prasyarat fungsional yang harus mereka adakan sehingga bias diklasifikasikan sebagai suatu istem. Parsons menekankan saling ketergantungan masing-masing system itu ketika dia menyatakan : “ secara konkrit, setiap system empiris mencakup keseluruhan, dengan demikian tidak ada individu kongkrit yang tidak merupakan sebuah organisme, kepribadian, anggota dan sistem sosial, dan peserta dalam system cultural “.[1]
Walaupun fungsionalisme struktural memiliki banyak pemuka yang tidak selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan tetapi paham ini benar-benar berpendapat bahwa sosiologi adalah merupakan suatu studi tentang struktur-struktur social sebagai unit-unit yang terbentuk atas bagian-bagian yang saling tergantung.
Fungsionalisme struktural sering menggunakan konsep sistem ketika membahas struktur atau lembaga sosial. System ialah organisasi dari keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung. Ilustrasinya bisa dilihat dari system listrik, system pernapasan, atau system sosial. Yang mengartikan bahwa fungionalisme struktural terdiri dari bagian yang sesuai, rapi, teratur, dan saling bergantung. Seperti layaknya sebuah sistem, maka struktur yang terdapat di masyarakat akan memiliki kemungkinan untuk selalu dapat berubah. Karena system cenderung ke arah keseimbangan maka perubahan tersebut selalu merupakan proses yang terjadi secara perlahan hingga mencapai posisi yang seimbang dan hal itu akan terus berjalan seiring dengan perkembangan kehidupan manusia.
Penutup
Teori fungsional struktural bukan hal yang baru lagi didalam dunia sosiologi modern, teori ini pun telah berkembang secara meluas dan merata. Sehingga tak ayal banyak Negara yang menggunakan teori ini di dalam menjalankan pemerintahannya baik itu mengatur suatu pola interaksi maupun relasi diantara masyarakat. Dalam kesempatan ini setidaknya pemakalah dapat mengambil keseimpulan bahwa secara singkat dan sederhana teori sosial ini merupakan seperti rantai sosiologi manusia, dimana didalam hubungannya terdapat suatu keterkaitan dan saling berhubungan..
Referensi
Poloma, M. Margaret, Sosiologi Kontemporer ( terj ), Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003
Soetomo, Drs, Masalah Sosial dan Pembangunan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1995

Sabtu, 21 Agustus 2010

faktor anaksulit konsentrasi

Ananda (36), paling sering uring-uringan melihat tingkah putrinya, Sisil (12). Betapa tidak, murid kelas 1 SMP ini kerap kali melakukan kesalahan yang terus berulang di mata Amanda. Beberapa kali Sisil tidak membawa kembali baju olahraga. Dia juga kerap lupa membawa kembali tas berenang dan sudah terjadi puluhan kali.

Hal yang paling membuat Amanda kesal adalah seminggu lalu ketika Sisil datang dari sekolah, ia memakai sepatu kiri dan sepatu kanan berbeda. Anehnya, Sisil tidak menyadari kesalahan itu. Di mata Amanda, keadaan ini sudah benar-benar parah. Seharusnya, anak seusia Sisil sudah tidak melakukan kekeliruan seperti itu.

Apalagi setiap Amanda menanyakan kepada Sisil soal keteledorannya itu, Sisil selalu ngotot dan mengatakan sudah membawa dan menaruhnya di mobil. Namun, bisa juga alasannya lupa dan tidak sengaja. Kalau Amanda berkata dengan nada marah, Sisil menangis dan cemberut.

Setelah kejadian itu, Amanda tidak tega dan pasti membelikan lagi peralatan yang hilang itu. Belum tuntas kekesalan Amanda, Sisil sudah melakukan hal yang membuat ibu muda itu lebih kesal lagi. Berikutnya, Sisil tidak ikut bimbingan belajar, tetapi malah pergi makan mi kuah ke sekolah. "Sopir bilang diancam sama Sisil untuk tidak bilang sama saya, dan tentu saja saya marah sama Sisil," tandas Amanda.



Beberapa Faktor

Apa yang dialami Amanda mungkin juga dialami oleh ibu-ibu lainnya. Menurut praktisi emotional intelligence parenting Hanny Muchtar Darta, keadaan seperti di atas pada umumnya sering terjadi dan berdasarkan pengamatannya, hal itu terjadi pada keluarga di kalangan menengah atas.

Umumnya kejadian itu disebabkan beberapa faktor. Antara lain karena banyaknya pembantu di rumah yang menghambat kemandirian anak sehingga segalanya telah dipersiapkan, gaya pengasuhan yang permisif, dan stres yang disebabkan emosi negatif sehingga membuat anak tidak konsentrasi.

Biasanya juga, anak stres karena emosi negatif yang tidak diekspresikan karena perasaan takut. Selain itu bisa karena beban pelajaran di sekolah, ditambah dengan les yang banyak untuk mengembangkan kecerdasan ganda anak atau multiple intelligence anak, mulai dari les bahasa, matematika, musik, hingga taekwondo.

"Alasan anak-anak menjadi sulit konsentrasi karena banyak faktor penyebab. Di antaranya pendekatan negatif dari pola asuh yang fokus pada masalah dan bukan fokus pada keinginan terbaik dengan menggunakan gaya bahasa negatif. Misalnya marah-marah saat anak terlihat tidak semangat belajar sehingga nilainya tidak baik," ujar Hanny.

Dikatakan, hasil penelitian di Amerika yang dilakukan Task Force for Personal and Social Responsibilities bahwa setiap harinya orang mendengar 432 kata atau kalimat negatif dan hanya mendengar 32 kata atau kalimat positif. Sebanyak 80% kata-kata itu menyakitkan sehingga membuat orang sulit untuk bangkit dan hanya sekitar 20% tahan terhadap pendekatan negatif itu tanpa memberikan dampak psikologis. "Dapat disimpulkan, sangat penting untuk berkomunikasi secara positif dengan anak-anak kita," katanya.



Lebih Besar

Menurut Elizabeth Hartley dan Brewer dalam buku "Happy Children Through Positive Parenting 2005", gaya bahasa negatif tidak saja membuat anak stres, tetapi dampaknya lebih besar daripada yang kita bayangkan. Gaya bahasa negatif bisa memengaruhi perkembangan anak secara negatif sehingga menghambat anak-anak untuk meraih segala potensi yang ada pada dirinya. Gaya bahasa negatif menyebabkan put down. Put down meliputi rasa direndahkan martabatnya, anak merasa kecil dan tidak penting, anak merasa tidak mampu, juga anak merasa jauh dari orangtuanya.

"Demikian besarnya dampak gaya bahasa negatif terhadap perkembangan anak dan juga kita sebagai orangtua karena semakin banyak menggunakan kata negatif akan merasakan emosi negatif pula," katanya.

Sementara Eric Robins MD mengatakan, 85% penyakit medis disebabkan emosi negatif. Tentunya gaya bahasa negatif yang menyebabkan orang merasakan emosi negatif salah satu faktor penyebab tidak sehatnya hubungan antara orangtua dan anak karena anak merasa tidak nyaman dan merasa ada jarak dengan orangtuanya.

pendidikan anak diusia dini

anak dalam empat tahun pertama adalah perkembangannya yang paling kritis. Bukan saja pertumbuhan fisik yang terpenting, melainkan pola pengembangan kepribadian aktualiasi kemampuan belajarnya telah nampak juga.

Si bayi lahir ia memiliki 100 - 200 sel neuron, siap untuk memproseskan beberapa jenis pengalaman seperti informasi intelektual, suasana emosional yang diperolehnya melalui panca indranya. Manusia dalam mencerna pengaruh tersebut memiliki organisme yang disebut intelegensi yang merupakan kemampuan umum yang bersumber dari otak. Apabila struktur otak sejak lahir terbentuk secara genetis, maka fungsi otak sangat ditentukan oleh berbagai jenis pengaruh lingkungan. Proses otak akan mengalami regenerasi yang berakibat fungsinya intelegensi (stimulus) lingkungan yang diperlukan untuk memberfungsikan otak.

Selama pertumbuhannya, minat dan aktivitas anak selalu terkait dengan perkembangan kemampuannya. Setelah koordinasi kaki, tangan dan bagian badan yang terkait sudah mantap, demikian pula perkembangan bahasanya bertambah, maka anak sudah mulai merancang berbagai alternatif aktivitas yang lain. Cakupan kemampuannya menjadi sangat luas dan juga menjadi makin komplek. Makin waktu berlalu, penyaluran pilihan melatihkan kemampuan. Oleh karena itu berbagai kegiatan pendidikan sebenarnya bisa dirancang secara sengaja dengan tujuan agar anak memperoleh peluang meningkatkan beberapa kemampuan berdasarkan pengalaman belajarnya. Pengalaman yang memperkaya dalam kehidupan mental terutama yang disebut intelegensi inilah yang menjadi tugas lingkungan untuk dapat memberikan berbagai rangsangan sesuai tuntutan perkembangan anak. Salah satu media yang dapat dipakai untuk memperkaya perkembangan mental anak adalah melalui pendidikan seni.

Seni dan Cabang-cabang Seni

Seni adalah sesuatu yang di dalamnya berisi keindahan, yang merupakan hasil daya cipta manusia. Dan seni juga merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melahirkan rasa keindahannya menurut bakatnya masing-masing. Oleh karena itu seni sifatnya halus dan rumit. Cabang-cabang seni meliputi: 1. Seni rupa yang menyangkut di dalamnya adalah: seni lukis, seni pahat, dan seni kria (kerajinan atau keterampilan). 2. Seni suara yang menyangkut di dalamnya adalah: vokal tradisi dan vokal modern. Vokal tradisi yang dikenal di Indonesia adalah karawitan. Instrumen ada dua:instrumen tradisi dan instrumen modern. Instrumen tradisi yang lumrah di Indonesia adalah gamelan. Instrumen modern yang lumrah di Indonesia adalah musik. 3. Seni gerak adalah merupakan olah tubuh (tari). 4. Seni sastra adalah menyangkut tentang: novel, cerpen, drama, dan puisi. 5. Seni teater adalah gabungan antara seni suara dengan seni gerak dan seni sastra. Di antara cabang-cabang seni seperti tersebut di atas bisa diberikan kepada anak, tetapi harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak dan kondisi anak.

Dalam reformasi pendidikan yang mengarah pada kehidupan kebudayaan, spiritual dan individual dalam suasana multikultural dengan mengakui kedaulatan individu menuntut pendekatan yang holistik dalam mentransformasikan sifat-sifat manusia, yaitu transformasi dan perkembangan manusia seutuhnya. Mengenali dan mengakui identitas dan keunikan anak, maka yang perlu dikembangkan kepada anak adalah pendidikan intrinsik, sebab memiliki dampak langsung terhadap perkembangan seseorang.

Pendidikan intrinsik ini berarti belajar tumbuh kembang, belajar tumbuh mengerti dan menghargai orang lain, belajar membedakan yang baik dan yang tidak baik, yang benar dan yang salah, yang indah dan yang jelek. Dalam suasana pembelajaran intrinsik adalah pendidikan seni, adalah yang paling dekat pada inti psikologis dan biologis manusia yang paling dekat kepada apa yang disebut identitas manusia yang seharusnya menjadi pengalaman dasar dalam pendidikan persekolahan atau pun lingkungan rumah (Maslow, 1977).

Pengaruh Seni

Makin banyak seseorang anak mendapat rangsangan melalui seni, makin cerdaslah anak itu. Rangsangan itu harus diikuti dengan keterangan refleksi, bukan saja membawa suasana positif, melainkan memperkuat integrasi indra yang diperlakukan untuk memekarkan berbagai kemampuan yang cerdas. Kemampuan manusia yang paling baik yang dapat mengantar anak manusia Indonesia dalam kancah perubahan di dalam negeri yang beradab dalam suasana persaingan dunia ini adalah seni untuk mencapai tujuan kehidupan berbangsa yang bermartabat. Ini membutuhkan suatu pengalaman belajar yang enjoyable, estetis yang mengundang, sehingga anak didik menyatakan dan mewujudkan diri secara asyik dengan pelajaran seni yang memiliki kekayaan spiritual yang menyertai perkembangan emosional dalam suasana kemartabatan.

Dengan berbagai penelitian telah menyatakan bahwa kecerdasan seni mempengaruhi perkembangan emosi, spiritual, dan kebudayaan lebih dari kecerdasan lainnya. Berbagai ilustrasi yang telah diberikan menggambarkan bahwa kecerdasan seni menolong anak membantu pola pikir dan pola kerja. Maka dari itu apabila, terutama pada tahun dini (0 - 7 tahun) seni dienyahkan dari pendidikan sekolah dan pendidikan lingkungan rumah, karena pelajaran lain dianggap lebih penting, kesalahan fatal telah ditempuh dalam membantu masyarakat menghadirkan nilai-nilai spiritual, emosional, dan mengembangkan insan Indonesia mencapai perkembangan yang optimal, harmonis, dan beradab.Pedoman Dasar

Paradigma baru dalam UU Sindiknas yang akhir-akhir ini direvisi mengacu pada pendidikan multikultural yaitu adanya kebutuhan beragama dalam suatu masyarakat yang tetap merupakan kesatuan. Paradigma pendidikan multikultural ini berkembang seiring dengan hak dan keunikan siswa individual yang belajar bersama dengan yang lain dalam suasana saling mengharmoni, toleransi, dan berpengertian terhadap masing-masing kepentingan. Acuan ini tetap mengakui perbedaan individual. Perkembangan individual sangat dipengaruhi oleh peluang dini yang unggul yang menjadi pengalaman belajar yang berharga dalam perkembangannya.

Pendidikan seni diberikan sejak dini, bahkan sejak ia berada dalam kandungan, merupakan pengalaman yang akan membentuk mekanisme neurophysiologis, bahkan juga potensi yang nampak secara genetis lebih stabil dan dipengaruhi faktor iokimiawi, akan juga berdampak terhadap perkembangan anak.

Pengalaman dini terutama seni akan menjadikan kontribusi genetis. Dalam menjadikan lingkungan kaya dengan kemandirian pengalaman untuk dapat merespons terhadap individu yang lain, anak harus berkembang secara optimal. Apabila ia telah menemukan dirinya sebagai mahluk yang independen dalam menyatakan dirinya melalui berbagai pengalamannya, terutama pengalaman seni yang akan mewujudkan dirinya secara optimal.


karakter remaja

Mengapa Remaja  Melawan?ANAK adalah harapan orangtua. Banyak orangtua sangat berharap pada anak-anak yang telah dibesarkannya. Namun, terkadang harapan itu tidak selalu tercapai karena anak yang telah dilahirkan tidak memberikan respons yang baik kepada orangtuanya.

Suka membantah misalnya. Biasanya, sikap-sikap perlawanan tersebut mulai terlihat saat anak memasuki usia remaja. Remaja juga cenderung memiliki tingkah laku yang buruk dan berani melakukan pemberontakan kepada orangtua jika memiliki sesuatu keinginan yang tidak terpenuhi.

Masalah paling banyak yang dihadapi orangtua ketika anaknya beranjak remaja adalah anak menjadi susah diatur dan selalu ingin memberontak. Bahkan, ada pula remaja yang jika tidak dituruti kemauannya, ulahnya jadi macam-macam. Misalnya tidak sopan kepada orangtua, malas sekolah, diminta bantuan tidak mau membantu, paling parah adalah keluyuran sepanjang hari.

Jika dinasihati, nasihat yang diberikan masuk telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri. Anak seperti ini tentu saja membuat bingung dan sedih orangtua. Padahal, bagi orangtua, keberhasilan si remaja menjadi impian dan alangkah bahagianya jika mempunyai anak yang patuh, rajin, pandai, dan penurut.
Paling Rawan

"Masa remaja atau usia muda adalah usia paling rawan dalam kehidupan anak-anak. Salah mendidik, anak akan menjadi sosok yang angkuh, egois dan pemberontak," kata psikolog anak alumni Universitas Indonesia (UI), Dr. Farah Agustin.

Ditambahkannya, pada usia seperti ini, anak remaja sudah tentu tidak dapat dikerasi seperti dipukul atau dimarahi dengan kalimat kasar karena mereka akan melawan dan semakin menjadi-jadi. Tetapi, jika mereka dinasihati baik-baik pun tidak mau mendengar, malah jadi besar kepala. "Solusinya adalah mengetahui apa yang membuat mereka menjadi seperti itu. Karena biasanya, anak remaja usia muda sedikit tertutup kepada keluarga," katanya.

Lebih lanjut ditambahkan Farah, masa remaja sebagai masa storm and stress -- masa badai dan ketegangan, masa yang penuh pertentangan dan perlawanan, bertolak belakang dari masa kecil yang lebih aman dan lebih mudah diatur. "Anak remaja terkadang menjadi susah ditebak karena mereka selalu berbuat sesuai dengan hati nuraninya semata tanpa memikirkan dampaknya bagi orang di sekelilingnya," sebutnya.

Dari berbagai penelitian yang dilakukan, ternyata tidak semua remaja mengalami gejolak badai dan ketegangan, serta suka berontak. Ternyata jauh lebih banyak remaja yang dapat hidup damai dan merasa dekat dengan orangtua dan keluarganya. Hanya sekitar 15 persen yang mengalami kesukaran dalam penyesuaian diri.

Kebanyakan dari mereka yang mengalami kesulitan bersosialisasi karena sudah mempunyai kesulitan juga sebelumnya, seperti kesulitan pribadinya. Penyebab lain karena ada persoalan serius dalam keluarga dan lingkungan sosialnya. Dengan begitu, anak menjadi egois, pemberontak, dan selalu merasa orang lain tidak penting.

Permasalahan yang mencetus timbulnya pribadi seperti itu misalnya karena orangtua bercerai. Atau remaja mendapat lingkungan sosial yang tidak baik, misalnya terpaksa menjadi anggota geng yang hobi berkelahi atau mabuk-mabukan.



Didikan Salah

"Didikan TV yang sejak kecil sudah membanjiri mereka dengan agresivitas dan sikap arogan, juga ikut ambil bagian membentuk pribadi remaja," kata Farah. Permainan seperti play station dan sejenisnya yang sudah beredar dari dulu, juga ikut membentuk karakter anak menjadi anak-anak yang tertutup. Biasanya mereka tidak mau bersosialisasi dengan orang lain.

Dr. James Dobson dalam buku "Dare to Discipline" bahkan melihat lebih jauh lagi. Ia berpendapat, kesukaran saat remaja adalah hasil didikan yang salah ketika remaja masih berumur antara 0-5 tahun atau balita. Menurut dia, jika balita tidak pernah dilatih untuk menghargai orangtua dan belajar menolong, sukar diharapkan ia tumbuh jadi remaja ataupun orang dewasa yang sopan santun dan penolong.

Bahkan, bisa menjadi lebih buruk lagi, dia belajar untuk tidak menghargai orang lain. Apalagi jika balita dibiasakan mendapatkan keinginannya lewat berteriak dan mengamuk, maka saat itu orangtua sedang mendidiknya untuk menjadi seorang anak yang harus dipenuhi keinginannya.

kekerasan terhadap anak

Kekerasan di masyarakat terus bergulir, meski kata damai, aman, santun, dan lainnya juga terus membanjir dari pendidik, tokoh masyarakat, hingga pejabat pemerintah. Dalam praktik kekerasan itu, korban paling banyak adalah anak-anak. Secara fisik dan psikis, mereka tak berdaya saat menghadapi kekerasan yang dilakukan orang dewasa.

Hadi Supeno yang mengutip pernyataan Darwin (2000) mengartikan kekerasan sebagai tindakan yang menyebabkan seseorang menderita atau dalam keadaan tertekan tanpa bisa melakukan perlawanan. Pada masa lalu, kekerasan hanya diartikan tindakan fisik. Namun, kini lazim digunakan ada kekerasan fisik dan ada kekerasan psikis. Yang terakhir lebih sulit mengukurnya karena tidak tampak, tetapi lebih fatal akibatnya karena tidak ada kepastian bagaimana cara penyembuhannya.

Berbagai jenis dan bentuk kekerasan dengan beragam variannya diterima anak-anak, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan, penganiayaan, trafficking, aborsi, paedofilia, dan berbagai eksploitasi anak di bidang pekerjaan, penelantaran, penculikan, pelarian anak, penyanderaan, dan sebagainya.

Kekerasan terhadap anak harus diwaspadai karena Sigmund Freud (Hadi Supeno, 2008) mengatakan, anak akan memperlakukan orang lain di masa dewasa seperti ketika ia diperlakukan orang lain pada masa anak-anak. Jadi, jika kini anak-anak diperlakukan dengan penuh kekerasan, kelak mereka akan menjadi pelaku kekerasan yang mungkin jauh lebih hebat dibandingkan perlakuan kekerasan yang diterima saat anak-anak. Sebelum spiral kekerasan itu melenting beramplitudo mewujud dalam bentuk yang dahsyat dan mengerikan, para orangtua harus lindungi anak-anak dari kekerasan.

Data Komnas Anak menunjukkan, kekerasan pada anak tidak mengenal strata sosial. Di kalangan menengah ke bawah, kekerasan pada anak karena faktor kemiskinan. Di kalangan menengah ke atas, karena ambisi orangtua untuk menjadikan anaknya yang terbaik, di sekolah, di masyarakat, termasuk selebritis cilik agar bisa tampil di televisi.

Faktor penyebab lainnya adalah terinspirasi dari tayangan-tayangan televisi maupun media-media lainnya yang tersebar di lingkungan masyarakat. Yang sangat mengejutkan ternyata 62% tayangan televisi maupun media lainnya telah membangun dan menciptakan perilaku kekerasan (Sutrisno, 2009).



Lingkungan Ramah

Beberapa faktor yang menyebabkan sering terjadinya kekerasan terhadap anak, pertama, ada paradigma bahwa anak adalah individu yang lemah dari segi fisik maupun dalam pemenuhan hak mereka. Anak harus ikut dalam peraturan, anak tidak mempunyai hak melakukan aspirasi yang berkaitan dengan dunia anak.

Kedua, kekerasan yang terjadi seolah menjadi budaya yang efektif untuk mendisiplinkan anak, sehingga hal ini tidak perlu dipersoalkan. Kekerasan dianggap dapat dibenarkan sepanjang atas nama menegakkan kedisiplinan. Kebiasaan-kebiasaan seperti ini yang membuat kasus-kasus tindak kekerasan jarang terungkap ke permukaan, selain itu ketidakberdayaan anak yang selalu dimanfaatkan orang dewasa untuk melampiaskan kemarahannya. Dalam tataran ini, perlunya menciptakan lingkungan keluarga yang ramah terhadap anak.

Mencita-citakan sebuah lingkungan hidup yang ramah bagi anak dapat dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga, masyarakat lokal, negara, dan pada akhirnya masyarakat dunia (Chabib Musthofa, 2009). Pertama, memposisikan anak sebagai pemegang hak (right holder) dalam rumah tangga, sedangkan orangtua sebagai pemegang kewajiban (duty bearer) atas terpenuhinya hak anak. Orangtua layak mendengarkan dan memahami anak, bukan sebaliknya, anak yang dipaksa mendengarkan dan memahami keinginan orangtua.

Kedua, masyarakat memberikan akses agar anak dapat berpartisipasi dalam dimensi sosial-budaya tanpa diskriminasi apa pun. Hal ini dikuatkan dengan pembentukan social norms yang setara. Ketiga, negara sadar akan kewajibannya untuk menghormati (respect), melindungi (protect), memenuhi (fulfill), dan memajukan (promote) anak guna mendapatkan hak-haknya.

Minimal ada 5 (lima) indikasi sebuah kawasan hidup yang berada dalam kategori ramah terhadap anak. Pertama, anak terlibat dalam pengambilan keputusan tentang masa depan diri, keluarga, dan lingkungannya. Kedua, kemudahan mendapatkan layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan layanan lain untuk tumbuh kembang. Ketiga, adanya ruang terbuka untuk anak dapat berkumpul, bermain, dan berkreasi dengan sejawatnya dengan ama serta nyaman. Keempat, adanya aturan yang melindungi anak dari bentuk kekerasan dan eksploitasi. Dan kelima, tidak adanya diskriminasi dalam hal apa pun terkait suku, ras, agama, dan golongan (Chabib Musthofa, 2009).

Minimalkan Kekerasan

Meminimalkan kekerasan pada anak, Sutrisno (2009) merekomendasikan beberapa hal penting. Pertama, menjauhkan budaya kekerasan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, dan menyatakan bahwa kekerasan terhadap anak adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kedua, menjadikan Program Perlindungan Anak di Indonesia sebuah program prioritas bagi pemerintah dalam menjawab komitmen negara sebagai negara peserta yang meratifikasi Konvensi Hak Anak. Mengeluarkan kebijakan negara yang bersifat teknis dalam melindungi anak dari segala bentuk tindak pelanggaran hak anak seperti tindak kekerasan (child abuse), diskriminasi, trafficking, dan perlakuan salah lainnya. Karena pembicaraan dan impunity atas pelanggaran hak-hak anak adalah refleksi rendahnya derajat keberadaan dan lemahnya empati kemanusiaan.

Ketiga, penegakan hukum (law enforcement) oleh aparat berwenang agar menjadi efek jera bagi pelaku tindak kekerasan pada anak. Karena itu, peran berbagai pihak untuk turut memonitor tindak kekeradan pada anak sangat diperlukan demi efektivitas dan efisiensi pemberlakuan serta pelaksanaan hukum yang berlaku tentang perlindungan anak dan peradilan anak. Kerja sama lintas lembaga dan program. Kemitraan yang sejajar dan kondusif merupakan syarat suksesnya sebuah agenda. Permasalahan anak tidak bisa dibebankan pada satu lembaga saja.

Keempat, mendorong pemerintah agar dengan segera menghentikan tayangan-tayangan kekerasan, mistik, pornografi, dan tayangan lainnya yang tidak mendidik bagi proses tumbuh kembang anak, serta pemerintah dan orangtua bertanggung jawab untuk memberikan arahan dan panduan kepada anak, karena mereka masih membutuhkan itu dalam proses evolusi kapasitas menjadi personal yang tidak lagi dependen dan menuju kedewasaannya. Anak bukan entitas tunggal dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keluarga dan lingkungannya.

Seto Mulyadi (2006) menyitir, jika kekerasan terhadap anak tidak dihentikan, cepat atau lambat bangsa ini akan runtuh. Para pemimpin bangsa ini kelak akan terdiri orang-orang yang memiliki masa kanak-kanak penuh nuansa kekerasan. Marilah kondisi meminimalkan kekerasan terhadap anak kita upayakan bersama-sama.

selektif dalam mencari teman

Selektif dalam Mencari TemanDUNIA tanpa teman memang terasa hampa. Sebagai makhluk zoon politikon, kita tidak bisa lepas dari kondisi saling komplementer satu sama lain. Hal ini mengingat manusia ditakdirkan dengan harga mati yaitu memiliki kekurangan. Motif inilah yang mendorong manusia untuk mencari teman. Karena dengan teman proses sinkronisasi kekuatan dapat tercipta menuju spirit pencapaian sesuatu.



Persoalannya, seberapa tinggi kemampuan sosial kita untuk mencari teman? Dikaitkan dengan aktivitas pertemanan, tidak jarang ketika sebagai makhluk individu manusia memiliki karakteristik tersendiri. Dari kecerdasan sosialnya paling tinggi sampai yang paling rendah (kuper). Bersyukurlah jika kita memiliki kecerdasan sosial yang tinggi. Kita dapat mencari teman dengan relatif lebih mudah. Sebaliknya, jika kita tergolong memiliki kecerdasan sosial yang rendah maka aktivitas mencari teman menjadi suatu kendala. Tentu diperlukan strategi dan motivasi untuk mencari teman.



Kiat Mencari Teman

Maiz (2010) menyebutkan bahwa ada beberapa kiat untuk mencari teman. Kiat-kiat itu pada esensinya berorientasi pada diri kita sendiri, misalnya kecerdasan berdialog (tidak berdebat/ saling menjatuhkan). Kecerdasan berdialog yang dimaksud inilah menjadi bagian dari aktivitas pertemanan dengan kemampuan menjaga balance percakapan. Tentu kecerdasan berdialog menuruti etikanya, yakni diam ketika dia bicara, bersuara dengan lemah lembut, konsentrasi dalam menyimak, bersikap tenang, wajah selalu ceria, menghargai pendapatnya, bijak dalam menjawab, dan jangan lupa sebutlah namanya untuk meningkatkan ke-pede-annya.

Di samping itu, bergaullah dengan baik. Kuncinya pada kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa. Pada umumnya orang menyenangi seseorang yang memiliki kesabaran dan keikhlasan yang tinggi. Kunci lain dalam mencari teman yakni ramah. Misalnya, ramah dalam hal bicara (artinya bicara dengan sopan) dan ramah dalam bersikap (tidak menyakiti secara fisik maupun batin).

Menyapa juga menjadi faktor penting dalam mencari teman. Hendaknya jangan pelit dalam menyapa. Kita harus murah sapa. Sapaan pertandai kita memperhatikan keadaannya. Sapaan dapat dilakukan dengan ucapan yang sopan, lambaian tangan (karena jarak jauh dan tak memungkinkan untuk mendekatinya), dan sapaan isyarat (misalnya, dengan senyuman atau isyarat mata). Hal penting lainnya ialah peduli si dia. Peduli saat ia duka, misalnya dalam kondisi tertimpa bencana alam, ada kematian di keluarganya, ekonominya terpuruk, sakit, dan saat ia sedih. Pun saat ia bahagia, misalnya saat ia ulang tahun, menikah, dan saat ia sukses dalam bidang tertentu. Bentuk kepedulian lainnya bisa dengan kirim salam. Kelihatannya sepele, tetapi kirim salam besar pengaruhnya dalam menarik simpati seseorang. Kirim salam bisa dilakukan dengan perantara orang lain, lewat surat, SMS, dan e-mail.

Kiat lain yang bisa ditempuh ialah traktir atau undang dia makan bersama. Mentraktir bukan berarti menunjukkan rasa pamer, sombong maupun boros melainkan untuk menunjukkan loyalitas bertemanan, memperdalam persahabatan dan juga mengetahui seleranya.



Kriteria Teman Baik

Kendati kita memerlukan banyak teman dalam hidup ini, namun bukan berarti kita boleh berteman dengan sembarangan. Di sekolah, kampus, kantor, pasar dan termasuk dunia maya ada banyak calon teman. Ruang-ruang ini berkumpul banyak orang dengan beragam karakter dari paling baik sampai paling jagat. Oleh karena itu, diperlukan sikap selektif memilih teman agar hidup kita tidak hancur. Selektif memilih tidak berarti fanatis/ egois tetapi merupakan wujud sikap yang tenang dan kehati-hatian.

Teman merupakan hubungan yang bersifat kooperatif, komplementer, dan bersifat simbiosis mutualisme. Konsep ini tentu berbeda pada setiap individu. Artinya, seberapa besar pengaruhnya hubungan kita dengan seseorang baik terhadap sikap, ideologi, pandangan hidup guna mencapai tujuan hidup. Ini sangat individualistis. Hubungan pertemanan si A dengan si B berlangsung luar biasa tetapi ketika si A berteman di S berlangsung biasa saja. Dengan kata lain, konsep teman yang ideal sifatnya individual. Kendati demikian, ada beberapa standar umum yang bisa dijadikan acuan dalam mencari teman.

Pertama, teman sebagai tempat curhat. Artinya, ia bisa menjadi tempat curahan hati suka maupun duka. Bahkan menjadi tempat mencurahkan masalah paling rahasia pun. Tidak jarang kita mempunyai masalah rahasia yang tak mampu kita utarakan dengan keluarga sekalipun tetapi bisa dicurahkan dengan seorang teman.

Tentu dasar pertimbangannya harus kuat. Teman curhat ialah teman yang kita percayai (bisa menjaga rahasia), perhatian kepada kita (perhatian dan tidak mencari muka), merespons dengan baik, dewasa dalam bersikap, selalu setia, ikhlas, adil dan pintar.

Kedua, teman sebagai spirit hidup. Setiap orang pasti pernah merasa lelah menjalani hidup mungkin karena kecewa, frustasi, ditipu/ dikhianati dan lain sebagainya. Dalam konteks inilah kita membutuhkan seseorang yang bisa memberikan spirit dan motivasi hidup. Kita membutuhkan teman sebagai guru dan penasihat. Kita perlu teman yang bisa memberikan spirit membangun, bermakna, berkualitas dan bermanfaat sehingga kita bisa lepas dari belenggu masalah. Artinya, kita menjadi lebih semangat dalam berprestasi.

Ketiga, memajukan bisnis kita. Memilih teman bisnis memang mesti hati-hati. Ada istilah ''teman ya teman dan bisnis ya bisnis''. Dalam dunia bisnis, istilah ini sering diselewengkan menjadi mitra bisnis yang bersifat parasit. Satu pihak mencari untung dan yang lainnya dirugikan bahkan sampai bangkrut. Oleh karena itu, pilihlah teman bisnis yang jujur, kerja keras, mau saling terbuka, komitmen dengan kesepakatan, dan bisa dipercaya.

Keempat, teman sebagai inspirasi. Seringkali inspirasi muncul karena aktivitas berteman. Tiba-tiba ide muncul saat kita bincang-bincang. Bisa juga ketika melihat karya-karyanya. Atau dari sikap dan pola tingkah lakunya selalu mengilhami kita tentang sebuah ide.

Kelima, teman sebagai teman hidup. Tidak ada orang yang bisa hidup sendiri. Kita membutuhkan teman hidup (bukan pasangan hidup) untuk kelangsungan hidup. Kita membutuhkan kelebihannya untuk menutupi kelemahan kita. Makin banyak teman, kita bisa mendapatkan komparasi nilai plus untuk meningkatkan kualitas jati diri kita dalam menjalani hidup ini.